Entri Populer

Sabtu, 13 November 2010

Tugas Penyelidikan Epidemiologi

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI

1.      CAMPAK

A.    DEFINISI CAMPAK
penyakit campak adalah penyakit menular dengan gejala demam > 38 , kemerahan (bercak merah berbentuk makulopapular) selama 3 hari atau lebih, di mana setelah 1 minggu sampai 1 bulan berubah menjadi hitam (hiperpigmentasi) dan kulit menjadi bersisik jiga disertai batuk pilek dan atau mata merah.(Sub direktorat Surveilans Epidemiologi. Petunjuk Teknis Surveilans Campak. Jakarta : Direktorat Jenderal PP dan PL Departeman Kesehatan RI; 2008)
Campak merupakan penyakit akut yang disebabkan Paramyxovirus, jenis Morbilivirus. Virus campak biasanya berkembang di dalam sel-sel yang terdapat di belakang tenggorokan danpada sel-sel yang berada di paru-paru. Sumber penularannya adalah manusia sebagai penderita dan tidak menular melalui binatang.
Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus campak yang ditularkan melalui udara pernapasan. Virus ini merupakan virus RNA untai tunggal negative tidak bersegmen yang mempunyai selubung. Bentuk virus pleomorfik dan umumnya berbentuk sferik dengan  ukuran diameter 120-125 nm. Virus campak dapat bertahan selama beberapa hari pada temperature 0 C dan selama 15 minggu pada sediaan beku. Di luar tubuh manusia virus ini mudah mati. Pada suhu kamar sekalipun, virus ini akan kehilanagn infektivitasnya sekitar 60 % selama 3-5 hari.
B.     GEJALA CAMPAK
Campak diawali dengan demam, keluar cairan dari hidung, batuk, sariawan, dan mata merah serta sakit. Pada hari ketiga demam akan menjadi semakin tinggi, kemudian pada hari keempat mulai timbul ruam dan setelah itu anak akan membaik beberapa hari kemudian. Ruam pada campak yang timbuyl di pipi disebut bercak koplik, bercak ini tampak seperti setitik garam di atas selaput lender pipi yang berwarna merah.
Secara singkat penyakit campak dibagi dalam tiga stadium:
1.         Stadium kataral (prodromal)
biasanya stadium ini berlangsung selama 4-5 hari disertai panas, malaise, batuk, fotofobia, konjunctivis, dan koriza. Menjelang stadium kataral dan 24 jam sebelum exantema, timbul bercak koplik yang patognomik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema.
2.         Stadium Erupsi
Pada fase ini suhu badan meningkat disertai timbul exantema atau titik merah di palatum durum dan palatum mole. Kadang-kadang terlihat pula bercak koplik.
3.         Stadium konvalensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua yang lama kelamaan akan hilang sendiri.
C.     FAKTOR RISIKO CAMPAK
       Menurut para ahli ada beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian sakit campak, yaitu:                
a.        Umur
b.      Jenis Kelamin
c.       Status gizi
d.      Status vitamin A
e.       Status vaksinasi campak
f.       Faktor lingkungan dan perilaku
g.      Tingkat pengetahuan dan social ekonomi

D.    TAHAPAN PEMBERANTASAN CAMPAK
1)   Tahap Reduksi
adalah menurunkan angka kematian campak sebesar 90 % pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2000 dengan strategi sebagai berikut:
a)   Meningkatkan cakupan imunisasi rutin minimal 90 % di desa dengan indicator cakupan campak, DPD3, dan polio 4
b)   95 % desa mencapai UCI (Universal Child Immunization)
c)   Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD
d)  Tatakala kasus dengan pemberian vitamin A dengan pengobatan adekuat terhadap komplikasi.
e)   Rujukan kasus serta indikasi.
2)   Tahap Eliminasi
a)   Mencapai cakupan imunisasi rutin
b)   Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD
c)   Melaksanakan surveilans berbasis kasus individu dengan melakukan konfirmasi laboratorium.
3)   Tahap Eradikasi
a)   Mencapai cakupan imunisasi rutin 95 % di setiap desa
b)   Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD dengan cakupan 100 %
c)   Imunisasi campak tambahan
d)  Melaksanakan surveilans ketat berbasis kasus individu dengan konfirmasi laboratorium.

WHO mencanangkan beberapa tahapan dalam upaya pemherantasan campak, dengan tekanan strategi yang berbeda-beda pada setiap tahap yaitu :
1.      Tahap Reduksi
Tahap ini dibagi dalam 2 tahap :
a.       Tahap pengendalian campak
Pada tahap ini ditandai dengan upaya peningkatan cakupan imunisasi campak rutin dan upaya imunisasi tambahan di daerah dengan morbiditas campak yang tinggi. Daerah-daerah ini masih merupakan daerah endemis campak, tetapi telah terjadi penurunan insiden dan kematian, dengan pola epidemiologi kasus campak menunjukkan 2 puncak setiap tahun.
b.      Tahap Pencegahan KLB
Cakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi > 80% dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian, insiden campak telah bergeser kepada umur yang lebih tua, dengan interval KLB antara 4-8 tahun.
2.      Tahap Eliminasi
Cakupan imunisasi sangat tinggi > 95% dan daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya. Kasus campak sudah jarang dan KLB hampir tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai rentan (tidak terlindung) harus diselidiki dan diberikan imuniasi campak.


3.      Tahap Eradikasi.
Cakupan imunisasi sangat tinggi dan merata, serta kasus campak sudah tidak ditemukan. Transmisi virus campak sudah dapat diputuskan, dan negara-negara di dunia sudah memasuki tahap eliminasi.
                                                                                                     
2.      ANGKA KEMATIAN BAYI
A.    DEFINISI
AKB merupakan salah satu indikator derajat kesehatan yang komprehensif. Angka ini tidak saja menunjukkan tentang kesehatan bayi itu sendiri, tetapi tinggi-rendahnya angka ini juga berarti baik buruknya kondisi lainnya yang berkaitan dengan faktor penyebab kematian bayi tadi. Kematian yang dimaksud pada umumnya berkaitan dengan atau mempunyai latar belakang yang luas antara lain:
a)      kematian pada umur dini (perinatal yaitu kematian janin sejak kehamilan sama dengan atau di atas 22 minggu sampai dengan bayi berumur 1 minggu dan kematian neonatal yaitu kematian bayi berumur kurang dari 1 bulan). Pada umumnya karena perawatan ante-natal dan pertolongan persalinan yang kurang memadai.
b)      Kematian karena penyakit-penyakit infeksi yang sebenarnya sudah tersedia cara pencegahannya dalam program – program imunisasi (immunizedable infectious diseases).
c)      Kematian karena diare, dapat berakibat dehidrasi, yang sebenarnya dapat diatasi dengan tindakan penggantian cairan badan dengan cara-cara yang cukup sederhana (oralit atau latrutan gula garam)
d)     kematian dengan latar belakang status gizi bayi yang kurang baik. sehingga daya tahan tubuh bayi rendah dan rentan terhadap macam-macam penyakit menular.
e)      beberapa hal tersebut mungkin berlatar belakang adanya upaya pelayanan kesehatan dasar yang belum menjangkau keluargfa bayi yang bersangkutan.
Kematian bayi dapat dibagi dalam kelompok umur sebagai berikut :
1)      Kematian Perinatal, yaitu kematian janin pada kehamilan di atas 28 minggu di tambah dengan angka kematian bayi di bawah umur 1 minggu.
2)      Kematian Neonatal, yaitu kematian bayi di bawah umur 1 bulan. Angka kematian Neonatal adalah jumlah kematian neonatal dalam satu tahun kalender dibagi dengan jumlah lahir hidup dalam tahun kalender yang sama.
3)      Kematian Post-Neonatal, yaitu kematian bayi umur 1 bulan sampai umur 1 tahun.
B.     PENYEBAB KEMATIAN BAYI
Hampir semua penyakit infeksi sistematik yang berat dapat menyebabkan keguguran, lahir mati, atau lahir dengan berat badan yang kurang dari semestinya. Infeksi pada ibu hamil yang menimbulkan penyakit pada janin atau neonates adalah penyakit cacar air atau varicella, herpes, zoster, virus coxsackie-B, hepatitis, malaria, penyakit gondok, rubella, campak, cacar pada janin.
C.     PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI :
Lahir mati memiliki pengertian kematian janin di antara minggu ke 20 kehamilan (bulan ke 5) sampai dengan masa kelahiran. Bila hal ini menjadi suatu kasus di masyarakat, misal di suatu daerah F memiliki jumlah angka kematian bayi yang tinggi, sangat perlu penanggulangan yang tepat. Pertama, cari dulu informasi yang lengkap dan benar dari puskesmas, tempat praktek bidan, ataupun rumah sakit, dimana di sana terdapat catatan-catatan yang menginformasikan adanya kematian bayi dalam kurun waktu tertentu. 
Populasi yang dapat menjadi sasaran utama adalah para ibu. Jelas disini akan diperoleh data yang benar mengenai kasus tersebut, khususnya bila dihubungkan dengan kelahiran bayi. 
Tindak lanjut penyelidikan epidemiologi :

Dapat dilakukan suatu wawancara langsung atau pengisian kuesioner untuk para ibu yang pernah melahirkan (khususnya yang pernah mengalami kasus janinnya lahir mati). Hal ini dilakukan untuk melihat apa yang menjadi penyebab utama dari adanya kasus lahir mati janin tersebut.
Bagi para ibu yang akan melahirkan, diberikan penyuluhan kesehatan yang berkaitan dengan masa kehamilan, melahirkan, dan juga nifas. Untuk membekali mereka dengan informasi yang tepat agar mereka dapat menjaga kandungan mereka dengan baik dan anak yang lahir dapat sehat dan selamat.
Langkah-langkah pencegahan :
ü  Perbaikan keadaan sosial ekonomi
ü  Perbaikan kesehatan ibu dan pengawasan antenatal yang baik
ü  Perbaikan teknik diagnose gawat-janin
ü  Perbaikan resusitasi bayi yang lahir dengan asfiksia dan perbaikan dalam teknik perawatan bayi baru lahir/ bayi yang premature
ü  Kesadaran ibu akan kebutuhan gizi seimbang yang baik selama mengandung
3.      TUBERCULOSA
Tuberculosa merupakan penyakit infeksi berat yang paling sering di ketemukan di Indonesia. Hampir 75% penduduk dewasa pernah mengalami infeksi ini (hasil test Mantoux positif) dan 3-4% menunjukkan proses TBC aktif pada pemeriksaan dengan X-ray. 0,6 % dari seluruh penduduk dewasa (1 diantara 150 orang) menderita TBC dengan BTA positif dan merupakan sumber penularan melalui dahak mereka. Karena itu, meskipun pemerintah telah mengadakan program pengontrolan dengan pengobatan kasus-kasus yang ditemukan dan vaksinasi BCG.
Tuberculosis yang ditemukan di negara-negara berkembang sangat berbeda dengan tuberculosis yang ditemukan di negara-negara industri. Ini akibat perbedaan gizi, faktor genetis, umur saat terjadinya infeksi yang pertama kali, dan adanya infeksi-infeksi tambahan pada anak-anak di Negara sedang berkembang, serta perbedaan dalam jumlah baksil yang menyerang.
A.    PENGELOLAAN TUBERCULOSA SECARA NASIONAL
Tuberculosa adalah penyakit yang mempunyai pengaruh nasional, salah satu contoh pengelolaan tuberculosa yang sederhana dan efektif di Negara yang memiliki kemampuan terbatas telah di praktekkan di India dan Indonesia. Tindakan yang diambil adalah vaksinasi BCG dan perawatan penderita secara output patient dengan obat-obat anti TBC.
Vaksinasi BCG
Ada tiga fase program vaksinasi BCG yang telah dikerjakan oleh petugas-petugas kesehatan dalam usaha mereka untuk mencegah tuberculosa di desa-desa di India.
Fase Pertama
Penduduk dikumpulkan di balai desa dan diusahakan agar semua dapat dating, kemudian petugas melakukan tuberculin test pendahuluan (test Mantoux). Hasil cara ini mengecewakan, karena hanya 45 % dari seluruh penduduk dating, dan hanya 30 % kemablli pada kari ketiga untuk diperiksa lagi guna mendapatkan vaksinasi BCG jika hasil test negatif.
Fase kedua
Ini dilaksanakan karena cara pertama tidak mengenai sasaran. Vaksinasi dalam fase ini dikerjakan dengan mengadakan kunjungan ke rumah penduduk. Team vaksinasi mengunjungi tiap rumah dua kali, yang pertama untuk melakukan test tuberculin, dan yang kedua membaca hasil test tersebut serta memberikan vaksinasi BCG pada anggota keluarga yang hasil test tuberculinnya kurang dari 10 mm. Dengan cara ini ternyata hasil lebih memuaskan, karena 80 % penduduk telah di test tuberculin dan 70 % mendapat vaksinasi. Tetapi cara ini masih tetap kurang sempurna karena biayanya tinggi dan memakan waktu lama, sebab diperlukan dua kunjungan.
Fase ketiga
Dalam sepuluh terakhir ini semakin jelas tampak pada banyak Negara, bahwa test pendahuluan dengan tuberculin tidaklah perlu. Dengan demikian program vaksinasi BCG secara missal pada saat ini dilaksanakan secara langsung tanpa test pendahuluan dengan tuberculin, karena BCG yang diberikan kepada anak-anak dengan reaksi tuberculin positif terbukti tidak membahayakan. Dalam program fase ketiga, team vaksin hanya melakukan satu kali kunjungan rumah, dan semua penghuni rumah yang berumur 0 -19 tahun yang dinilai dapat divaksinasi pada saat itu juga diberi vaksinasi BCG tanpa tuberculin test. Dengan cara ini dicapai hasil 80 % dan biayanya juga lebih rendah. Sehingga dalam jangka waktu yang sama jumlah penduduk yang divaksinasi menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan cara fase kedua.
B.     PENGOBATAN TUBERCULOSA
Pada orang dewasa
Dalam suatu penyelidikan yang luas di Madras, India, ditunjukkan betapa penting pemberian obat-obat anti tuberculosa untuk pengobatan penyakit ini. Menurut hasil penyelidikan tersebut, kondisi penderita yang tinggal dirumah sakit khusus untuk tuberculosa tidaklah berbeda dengan kondisi penderita yang tetap bekerja, asalkan keduanya keduanya menerima obat-obat anti tuberculosa. Berlawanan dengan anggapan yang selama ini dianut secara luas, pemberian makanan yang lebih baik, istirahat yang lebih lama, serta keadaanlingkungan hidup yang lebih baik terbukti tidak mempengaruhi kecepatan penyembuhan penderita. Faktor-faktor diatas sama sekali tidak berpengaruh asalkan penderita memakan obat-obat anti TBC secara tepat.
Program pengobatan dirumah penderita merupakan cara yang lebih tepat, karena tidak mengganggu keutuhan keluarga.Kekhawatiran yang timbul karena kemungkinan menularnya penyakit ini kepada lingkungan sekitar sebenarnya terlalu di besar-besarkan. Sesudah beberapa minggu, jumlah baksil yang keluar bersama dahak menjadi sedikit sekali sehingga tidak berbahaya. Oleh suatu penelitian dilaporkan bahwa orang-orang disekitar penderita yang dikhawatirkan terkena penyakit ini- sebenarnya sudah mengalami infeksi tuberculosa sebelum penderita mendapatkan pengobatan. Sehingga kontak langsung orang-orang itu dengan penderita tidak akan menambah angka penularan seunder. Orang-orang yang berada di sekiktar penderita juga harus mendapatkan INH perhari selama setahun. Meskipun begitu banyak dokter-dokter yang belum bersedia menerima hasil penyelidikan tersebut, danmasih menggunakan cara-cara tradisional dalam mengobati tuberculosa.
Pada anak-anak
Obat-obat anti mikroba memang paling penting, akan tetapi masalah gizi masih tetap merupakan faktor utama untuk memperbaiki keadaan umum penderita. Gizi yang rendah dan infeksi-infeksi tambahan lain yang ada, menyebabkan tuberculosa pada anak-anak di Negara-negara sedang berkembang jauh lebih berbahaya. Contoh dari hal ini terlihat di Durban, Afrika Selatan dimana epidemic morbili telah menyebabkan angka kematian sebesar 30 % diantara anak-anak dengan tuberculosa.

4.      MALARIA
Penyelidikan Epidemiologi (PE) Malaria, langkah awal yang perlu dilakukan adalah pencarian penderita / tersangka malaria lainnya yang ada dalam wilayah tersebut. Apakah dalam wilayah tersebut terdapat penderita Malaria lain atau hanya terdapat satu orang yang positif laboratorium terkena malaria. Kemudian dilakukan pemeriksaaan jentik dirumah penderita / tersangka maupun di sekitar rumah penderita, dalam jarak sekurang-kurangnya 100 meter (dirumah penderita dan 20 rumah sekitarnya) serta tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan, dalam melakukan pemeriksaan jentik, diperlukan informasi yang cukup tentang karakteristik nyamuk anopheles sebagai vektor malaria. Melihat kondisi dan karakteristik anopheles, maka dilakukan survey di tempat-tempat bertelur (breading place) dan tempat peristirahatan nyamuk tersebut. Seperti saluran pembuangan air, yang disana terdapat air kotor.

Tindak Lanjut
1.   Jika hanya ditemukan satu penderita dan ternyata disana tidak terdapat vektor, maka tidak terdapat populasi beresiko dalam daerah tersebut, hanya dilakukan sosialisasi tentang program pencegahan penyakit malaria
2.   Jika dalam komunitas tersebut terdapat satu penderita, namun terdapat adanya keberadaan vektor, maka perlu dilakukan pemberantasan vektor dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar bahaya malaria, dan cara menularnya, sehingga masyarakat tahu bagaimana cara menghindari perilaku-perilaku yang beresiko.
3.   jika di dalam daaerah tersebut ternyata di ketahui terdapat banyak orang yang terkena malaria, dan terdapat vektor malaria, maka perlu diadakan pemberantasan yang lebih menyeluruh agar penyebarannya tidak meluas.

5.      KEMATIAN IBU
Kematian ibu yaitu kematian seorang wanita yang terjadi selama masa kehamilan sampai dengan 42 hari setelah berakhirnya kehamilan tanpa memperhatikan lama dan tempat terjadinya kehamilan yang disebabkan oleh kehamilannya atau penanganan kehamilannya, tetapi bukan karena kecelakaan. Kematian ibu juga merupakan kematian seorang wanita waktu hamil atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan dilakukan untuk mengakhiri kehamilan. Angka Kematian Ibu, salah satu indikator pembangunan kesehatan dasar, masih memprihatinkan. Kematian perempuan usia subur disebabkan masalah terkait kehamilan, persalinan, dan nifas akibat perdarahan.
Kematian ibu dapat disebabkan oleh penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung antara lain diakibatkan oleh komplikasi obstetric sebesar 90 %. Penyebab langsung meliputi:
c.       Perdarahan
Penyebab perdarahan yang penting adalah perdarahan ante partum yaitu perdarahan pada triwulan terakhir dan perdarahan post partum yaitu melebihi 500 cc dalam 24 jam setelah anak lahir.
d.      Infeksi
Dokter atau bidan sering kali meruoakan pembawa infeksi pada wanita yang sedang bersalin. Sebab utama penyakit tersebut adalah berbagai jenis streptococcus yang dibawa oleh mereka.
e.       Eklampsi
Penyakit akut dengan kejang atau koma pada wanita hamil dan wanita dalam nifas yang disertai dengan hipertensi, edema, dan proteinuria.
Di samping penyebab langsung ada juga penyebab tidak langsung kematian ibu, antara lain pendidikan ibu yang masih rendah, sosial ekonomi dan sosial budaya Indonesia yang emngutamakan bapak dibanding ibu (misal : bapak didahulukan untuk mendapat makanan bergizi sehingga angka anemia pada ibu hamil cukup tinggi, mencapai 40%), tiga keterlambatan (terlambat mengenali tanda bahaya dan mengambil keputusan, terlambat sampai di fasilitas kesehatan, dan terlambat emndapat pelayanan yang optimal) dan keadaan 4T ( usia terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan terlalu banyak anak). Selain penyebab langsung dan tidak langsung, ada juga faktor non teknis yang masuk kategori penyebab mendasar, yaitu rendahnya status wanita, ketidakberdayaannya, dan taraf pendidikan. Faktor resiko kehamilan adalah faktor yang secara tidak langsung dapat membahayakan ibu hamil dan bersalin sehingga memerlukan pengawasan serta perawatan professional
·         Umur : terlalu muda atau terlalu tua
·         Paritas : jumlah persalinan yang pernah dialami ibu
·         Jarak kehamilan : untuk mempersiapkan pemulihan kondisi ibu yang baru melahirkan
·         Status gizi : ibu yang gizinya kurang, kondisinya akan rentan dengan penyakit. Wanita usia subur yang menderita KEK (Kurang energy kronis) memiliki resiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
·         Anemia : kurangnya kadar hemoglobin wanita hamil, makin tinggi resiko untuk terjadi perdarahan saat melahirkan.
Penyebab kematian ibu yang disebabkan oleh keadaan gizi sejak sebelum hamil, kehamilan yang terlalu dekat, terjadi pada usia terlalu muda atau terlalu tua juga dapat menimbulkan risiko timbulnya gangguan. Perdarahan dapat terkait produksi cairan ketuban atau ketuban pecah terlalu dini (sebelum proses persalinan). Adapun perdarahan pascapersalinan, antara lain, karena gangguan pada rahim, pelepasan plasenta, robekan jalan lahir, dan gangguan faktor pembekuan darah. Risiko akan meningkat, antara lain, pada ibu hamil yang menderita anemia dan rahim teregang terlalu besar karena bayi besar.
Salah satu faktor yang memengaruhi kematian ibu ataupun bayi ialah kemampuan dan keterampilan penolong persalinan. Faktor lain adalah kurangnya pengetahuan dan perilaku masyarakat yang tidak mengenali tanda bahaya sehingga terlambat membawa ibu, bayi, dan anak balita ke fasilitas kesehatan.
Menurunkan angka kematian ibu merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan nasional. Berdasarkan Survei Demografi dan Kependudukan (2002-2003), terjadi penurunan Angka Kematian Ibu dari 334 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2003. Namun, bila dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, angka tersebut masih cukup tinggi. Target yang ingin dicapai tahun 2015 adalah sekitar 125 per 100.000 kelahiran hidup.
Dalam menurunkan angka kematian ibu tindakan-tindakan yang dapat dilakukan yaitu melakukan program Keluarga Bencana. Jika para ibu yang tidak ingin hamil lagi dalat memperoleh pelayanan kontrasepsi efektif sebagaimana diharapkan, maka akan berkuranglah prevalesi wanita hamil pada usia lanjut dan paritas tinggi. Dengan berkurangnya factor risiko tinggi ini maka kematian maternal akan turun pula. Oleh karena itu pelayanan keluarga berencana harus dapat mencapai sasaran seluas-luasnya. Menunda masa kehamilan bagi ibu dengan umur <20 tahun dan dianjurkan untuk menggunakan alat kontrasespsi, sedangkan pencegahan ibu hamil >35 tahun dapat dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi mantap. Pemeriksaan kehamilan juga merupakan hal yang penting untuk mewaspadai apabila terjadi kelainan-kelainan yang dapat timbul pada masa kehamilan. Pada triwulan I minimal 1 x pemeriksaan, triwulan II minimal 1x, sedangkan pada triwulan II minimal 2x. Selain itu juga dapat dilakukan:
Ø  Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
Ø  Penyediaan pelayanan kegawatdaruratan yang berkualitas dan sesuai standar
Ø  Mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran
Ø  Kerjasama lintas program dan lintas sector ( IDI, POGI, IDAI, PMI, dsb.)
Ø  Peningkatan partisipasi wanita, keluarga, dan masyarakat



Webber R. Communicable Disease Epidemiology and Control. Cambridge : University Press; 1996
B.Budioro, Pengantar Epidemiologi. badan Penerbit Universitas Diponegoro . Semarang. 1997



Rini Anik N.R
E2A009111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar