Entri Populer

Selasa, 22 Maret 2011

Prinsip control disease pada Tuberkulosis Paru


TUBERKULOSIS PARU

Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB  Mycobacterium tuberculosis), yang menyerang terutama paru dan disebut juga tuberkulosis paru. Bila menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru.

Etiologi
Penyebab infeksi adalah kompleks M. tuberculosis. Kompleks ini termasuk M. tuberculosis dan M. africanum terutama berasal dari manusia dan M. bovis yang berasal dari sapi. Mycobacteria lain biasanya menimbulkan gejala klinis yang sulit dibedakan dengan tuberkulosis. Etiologi penyakit dapat di identifikasi dengan kultur. Analisis genetic sequence dengan menggunakan teknik PCR sangat membantu identifikasi non kultur.
Merupakan penyakit menular yang lebih banyak menyerang paru-paru (TBC paru), namun bakteri tersebut juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti kulit (TBC kulit), tulang (TBC tulang), usus (TBC usus), ginjal (TBC ginjal), otak (TBC otak), dan sebagainya. Dua jenis utama dari bakteri tersebut dapat menyerang manusia (human strain) dan ternak (bovine strain). Human strain menyebar dengan perantaraan air ludah orang yang terinfeksi atau melalui udara setelah bersin atau batuk. Selain itu juga bisa ditularkan lewat susu sapi yang terkena infeksi (bovine strain), biasanya terjangkit pada anak-anak, namun kasus tersebut jarang terjadi karena saat ini penggunaan susu banyak yang telah di pasteurisasi.
Cara penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak (droplet) sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA(+), pada waktu penderita tuberkulosis paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Risiko penularan setiap tahun Annual Risk Of Tuberculosis Infection (ARTI) di Indonesia cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi, kemudian sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita tuberkulosis paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis. Dari keterangan tersebut dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif. Faktor risiko yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis paru adalah karena daya tahan tubuh yang lemah, di antaranya karena gizi buruk dan HIV/AIDS.


Epidemiologi
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat
Di Indonensia berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya setiap 100.000 penduduk terdapat 115 penderita baru tuberkulosis paru dengan BTA positif. Penyakit tuberkulosis menyerang sebagidan besar kelompok usia produktif.
Orang yang berisiko tinggi terkena tuberkulosis antara lain adalah orang yang tinggal dalam rumah/ruangan yang ventilasinya buruk, orang yang berhubungan dekat dengan penderita tuberkulosis, sebelumnya pernah terserang penyakit tersebut, orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah (penderita malnutrisi, kanker, atau penyakit lain yang mengganggu sistem kekebalan tubuh), dan pecandu obat atau alkohol. Penyakit ini lebih banyak menyerang laki-laki daripada wanita, dan lebih banyak menyerang kulit berwarna dari pada orang kulit putih
Pada tuberkulosis paru, substansi abnormal yang disebut pulmonary infiltrates terakumulasi, rongga berkembang dan jaringan masa granulasi terjadi dalam paru-paru, masa tersebut terdiri dari jaringan mati. Infeksi oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis pada seesorang yang belum mendapatkan penyakit tersebut disebut dengan tuberkulosis primer. Setelah terkena infeksi bakteri tersebut, sekitar 5% dari mereka yang terkena akan mengembangkan tuberkulosis aktif dalam tempo satu tahun, dan sisanya mengalami infeksi tidak aktif.

Cara-cara penanggulangan
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials), pengalamanpengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:
1)      Komitmen politis
2)      Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3)      Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4)      Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5)      Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

control diseases
Penderita
Ø  Pengobatan
Di negara berkembang, WHO merekomendasikan pemberian 4 macam obat setiap harinya selama 2 bulan yang teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA diikuti dengan pemberian INH dan RIF 3 kali seminggu selama 4 bulan. Semua pengobatan harus diawasi secara langsung, jika pada pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan pengawasan langsung maka diberikan pengobatan substitusi dengan INH dan EMB selama 6 bulan. Penderita TBC pada anak-anak diobati dengan regimen yang sama dengan dewasa dengan sedikit modifikasi
Ø  Laporkan segera kepada instansi kesehatan setempat jika ditemukan penderita TB atau yang diduga menderita TB
Ø  Memberikan penyuluhan kepada penderita tentang cara agar penyakitnya tidak menyebar luas, misalnya bagaimana cara batuk yang benar, memakai masker, dll
Ø   isolasi
Penderita TB paru dewasa dengan BTA positif pada sputumnya harus ditempatkan dalam ruangan khusus dengan ventilasi bertekanan negatif. Penderita diberitahu agar menutup mulut dan hidung setiap saat batuk dan bersin. Orang yang memasuki ruang perawatan penderita hendaknya mengenakan pelindung pernafasan yang dapat menyaring partikel yang berukuran submikron. Isolasi tidak perlu dilakukan bagi penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya negatif, bagi penderita yang tidak batuk dan bagi penderita yang mendapatkan pengobatan yang adekuat (didasarkan juga pada pemeriksaan sensitivitas/resistensi obat dan adanya respons yang baik terhadap pengobatan).  


Kontak
v  Pencegahan infeksi: Cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus dipertahankan sebagai kegiatan rutin.
v  Penanganan kontak. Di AS terapi preventif selama 3 bulan bila skin tes negatif harus diulang lagi, imunisasi BCG diperlukan bila ada kontak dengan penderita
v  Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil yang cukup efektif untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten menjadi TB klinis
v  Peningkatan imunitas dengan menjaga pola makan dan olah raga yang cukup.

 Lingkungan
ü  Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi risiko terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian
ü  Ruangan harus terkena sinar matahari yang cukup agar tidak terlalu lembab.
ü  Memperhatikan aerasi ruangan.
ü  Ventilasi mencukupi agar kualitas udara tetap terjaga dengan baik.
ü  Disinfeksi alat-alat perabotan rumah tangga, lantai, dll.

Rini Anik N.R


Minggu, 20 Maret 2011

Prinsip control disease pada Thypoid

THYPOID


Definisi

Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi ( Arief Maeyer, 1999 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1996 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (.Seoparman, 1996).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 1999).
Demam thypoid ( enteric fever ) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran ( Nursalam dkk, 2005 : 152 )
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang telah terkontaminasi.

Etiologi

Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
Penyakit demam Tifoid ini bisa menyerang saat kuman tersebut masuk melalui makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Dan melalui peredaran darah, kuman sampai di organ tubuh terutama hati dan limpa. Ia kemudian berkembang biak dalam hati dan limpa yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba.
Dibeberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara penularan memindahkan mikroorganisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif, dimana dosisnya lebih rendah pada tifoid dibandingkan dengan paratifoid.

Epidemiologi

Penyakit ini tersebar merata diseluruh dunia. Insidensi penyakit demam tifoid diseluruh dunia mencapai 17 juta setahun dengan jumlah kematian sebanyak 600.000 orang. Di Amerika Serikat demam tifoid muncul sporadis dan relatif konstan berkisar antara 500 kasus setahun selama bertahun-tahun (bandingkan dengan demam tifoid yang dilaporkan sebanyak 2484 pada tahun 1950). Dengan memasyarakatnya perilaku hidup bersih dan sehat, memasyarakatnya pemakaian jamban yang saniter maka telah terjadi penurunan kasus demam Tifoid, dan yang terjadi di Amerika Serikat adalah kasus import dari daerah endemis. Sekarang sering ditemukan strain yang resisten terhadap kloramfenikol dan terhadap antibiotika lain yang umum digunakan untuk demam tifoid. 558 Kebanyakan isolat yang dikumpulkan pada tahun 90an dari Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika Timur Laut adalah strain yang membawa plasmid dengan faktor R yang membawa kode resistens terhadap berbagai jenis antibiotika yang dulu umum dipakai untuk mengobati demam tifoid seperti kloramfenikol, amoksisilin, trimetroprim/sulfametoksasol. Demam paratifoid muncul secara sporadis atau muncul sebagai KLB terbatas, mungkin juga kejadiannya lebih banyak daripada yang dilaporkan. DI AS dan Kanada demam paratifoid jarang teridentifikasi. Dari ketiga jenis demam paratifoid, paratifoid B adalah yang paling sering ditemukan, paratifoid A lebih jarang dan yang paling jarang adalah paratifoid C.
Distribusi berdasarkan umur pada daerah endemis demam tifoid sering ditemukan pada anak prasekolah dan anak-anak berusia 5 – 19 tahun.

Cara-cara penanggulangan

Penderita

1.       Pengobatan spesifik: Meningkatnya resistensi terhadap berbagai macam strain menentukan jenis obat yang dipakai untuk terapi secara umum, untuk orang dewasa ciprofloxacin oral dianggap sebagai obat pilihan terutama untuk penderita tifoid di Asia. Belakangan ini dilaporkan bahwa telah terjadi penurunan sensitivitas pada penelitian in vivo terhadap berbagai strain Asia. Untuk strain lokal yang masih sensitf terhadap pengobatan maka obat-obatan oral seperti kloramfenikol, amoksisilin atau TMP-SMX (untuk anak-anak) masih cukup efektif untuk mengobati penderita akut. Sedangkan ceftriaxone obat parenteral yang diberikan sekali sehari sangat bermanfaat diberikan kepada penderita obtunded atau kepada penderita dengan komplikasi dimana tidak bisa diberikan pengobatan antibiotika oral. Pemberian kartikosteroid dosis tinggi dalam jagka pendek dikombinasikan dengan pemberian antibiotika serta terapi suportif membantu menurunkan angka kematian pada penderita berat. Untuk pengobatan kepada carrier lihat uraian pada bagian 9A11 diatas. Penderita schistosomiasis yang menderita tifoid selain 562 pemberian terapi untuk tifoidnya maka diberikan juga praziquantel untuk menghilangkan kemungkinan cacing schistosoma membawa basil S. Typhi
2.       Melakukan investigasi, sumber infeksi harus diidentifikasi dengan cara melakukan pelacakan penderita yang tidak dilaporkan, carrier dan melacak makanan, susu, air, kerang-kerangan yang terkontaminsai.
3.       Melakukan isolasi bila perlu

Kontak

1.       Pemberian imunisasi rutin terhadap anggota keluarga, petugas kesehatan dengan vaksin tifoid kurang begitu bermanfaat walaupun mereka terpajan dengan penderita tifoid. Namun vaksinasi masih bermanfaat diberikan kepada mereka yang terpajan dengan carrier. Tidak ada vaksin yang efektif untuk demam paratifoid A
2.       Lakukan investigasi terhadap kontak
Seluruh anggota wisatawan yang salah satu anggotanya adalah penderita tifoid harus diamati. Titer antibodi terhadap purified Vi polysaccharide mengidentifikasikan yang bersangkutan adalah carrier. Jika ditemukan tipe phage yang sama pada organisme yang diisolasi dari penderita dan carrier menunjukan telah terjadi penularan.
3.       Memberikan penjelasan yang cukup kepada carrier tentang cara-cara menjaga kebersihan perorangan. Budayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan

Lingkungan

1.       Menerapkan standar kebersihan pada waktu menyiapkan dan menangani makanan
2.       Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap terjaga dengan baik





Rini Anik N.R

Kamis, 30 Desember 2010

SECERCAH HARAPAN SEORANG ANAK

Theng...theng...theng...jam dinding kamarku berdentang 5 kali, suasana pagi telah kembali lagi, aku merasakan pagi ini dengan penuh semangat, udara pagi yang begitu segar,membuatku semakin merasa bersyukur kepada-Nya, karena pagi ini aku masih bisa membuka mata setelah semalaman terlelap, masih dalam kondisi yang sehat dan masih dalam lindungan-Nya.
“Hari ini hari libur ya kak?” aku kaget ketika ada suara yang muncul di belakangku, di saat aku sedang merenungi kehidupan ini di balik jendela kamar.
“Eh, ada adek, iya sayang….hari ini kakak libur ,”
“Asyiiiik…..kalau gitu bisa jalan-jalan ni kak!”
“iya sayang, sini kakak pangku, kakak pengen cerita sesuatu”
Aku merasa sangat beruntung di dunia ini, karena telah diberi keluarga yang sangat baik, sangat harmonis, kehangatan keluarga sangat terasa didalamnya. Aku miris mendengar teman-teman yang memiliki keluarga yang tidak harmonis, kedua orang tua yang tega  saling bertengkar di depan anak-anak karena hal-hal yang sepele, dan masih banyak lagi.
Kesibukanku menjadi mahasiswa di salah satu universitas negeri di Indonesia tak membuat komunikasiku dengan keluarga tersendat-sendat, karena hampir setiap hari aku  memberi kabar kepada ibu atau ayahku, namun jarak yang memisahkan kami kadang sangat menyiksaku. Tersiksa karena kini tak bisa selalu ada disamping mereka, tak bisa selalu menjaga mereka, namun inilah tantangan hidupku, aku harus berani mengambil resiko di setiap aku memilih jalan hidupku. Harus ada yang dikorbankan ketika kita harus memilih salah satu pilihan.
“Alya…….!” panggil ibuku dari dapur. Dengan tergopoh-gopoh aku menghampiri ibuku.
“Sini nduk, bantuin ibu masak”. Nduk  adalah panggilan kesayanganku, sama artinya dengan nak. Sudah menjadi rutinitas biasa kalau aku sedang ada di rumah, tempat yang paling aku senangi adalah di dapur, karena disitu  adalah tempat sumber makanan berada, tak heran jika badanku besar, karena memang aku suka makan.
“Uhuk…Uhuk….” terdengar suara batuk ayah yang sangat keras, sudah lama ayah batuk yang tidak kunjung sembuh, karena ayah susah diajak untuk berobat, alasannya selalu sama.
“Ayah tidak ingin tahu penyakit ayah, biar ayah tetap merasa tenang menjalani hidup ini, agar pikiran ayah tidak di bebani dengan pantangan-pantangan dari dokter”
Terhenyak hatiku mendengar kata-kata ayah yang selalu melontarkan jawaban yang sama kepadaku ketika aku minta beliau untuk ceck kesehatan di dokter. Seperti pepatah maksud hati memeluk gunung  namun apa daya tangan tak sampai.
“Adek…..ayo kita jalan-jalan, mumpung kakak dirumah ni…..adek pengen kemana?”
“Terserah deh kak, yang penting jalan-jalan……asyiiiik, aku seneng deh kakak dirumah, jadi tambah banyak yang ngajakin jalan-jalan.”
“Yaudah,  kita ke taman aja, adek kan suka bermain disana tuh”
Adekku ini baru berumur 4 tahun, sebenarnya dia adalah putra kakakku, namun sangat suka memanggilku kakak, dia sangat suka jalan-jalan dan melakukan hal-hal lucu yang membuat orang-orang disekelilingnya merasa geli, mungkin yang baru mengenalnya merasa heran, karena ada saja hal-hal yang ia lakukan, aku tiga bersaudara, dengan kakak pertamaku 34 tahun, kakak keduaku (25 tahun) dan  aku sendiri 19 tahun. Orang tuaku memiliki 2 anak angkat, jadi jarang ada suasana sepi di dalam rumahku, yang ada hanya canda tawa, namun kadang ada juga keadaan sepi, jika semua orang pergi dengan kesibukan masing-masing.
 Hari berlalu dengan rutinitas seperti biasa, aku pulang seminggu sekali ketika tidak ada kegiatan di kampus. Kesempatan untuk pulang ini kugunakan baik-baik, tak semenitpun aku menyia-nyiakan waktu untuk berkumpul dengan keluargaku tercinta.
“Uhuk…Uhuk…Uhuk” Suara ayah sudah terdengar dari luar rumah. Aku berusaha untuk mendekati ayah, namun terasa sulit, karena masih sangat akrap dengan prinsip yang teguh untuk tidak periksa dengan dokter. Namun semangatku tak pantang menyerah, aku terus berusaha untuk membujuk ayah, namun gagal lagi.
Pada suatu kesempatan, aku diminta untuk mengikuti pelatihan konselor advokasi berhenti merokok, dengan semangat yang membara aku mengikutinya, dalam pelatihan itu aku diberi bekal tentang rokok, bahaya-bahaya rokok, kandungan-kandungan kimia yang ada di rokok itu sendiri undang-undang tentang rokok, dan masih banyak lagi. Aku semakin miris melihat ayahku yang perokok, beliau memang seorang perokok aktif dan hampir satu slop setiap harinya, kalau dibayangkan betapa ngeri kondisi organ-organ di dalam tubuhnya, yang telah di gerogoti banyak penyakit, paru-paru yang kini tak lagi seperti dulu, batuk-batuk yang tak kunjung sembuh, kondisi tubuh yang lemah, mudah terserang flu dan penyakit akibat kelelahan lainnya, aku memandang ayahku sebagai sosok yang sangat aku tauladani, beliau sangat bijaksana, sangat baik, tegas, humoris, jarang marah, sangat menjunjung tinggi ajaran agama kami.
Suatu sore aku mencoba untuk berdiskusi dengan ayahku.
“Yah, rokoknya sehari habis berapa batang?”
“Ya mungkin satu bungkus lebih”
“Pernah gak sih terpikir ingin berhenti merokok?”
“Pernah sih pernah nduk namun masih belum kepingin?”
“Ya memang semua itu butuh proses yang sangat panjang, yang penting ayah udah kepikiran untuk berhenti, meski belum bisa”
Hari demi hari masih saja ayah tak mengurangi jumlah rokok yang dihisap setiap harinya, malah kulihat semakin sering dan bertambah banyak. Tak kulihat perkembangan yang lebih baik. Dalam suatu kesempatan aku melakukan praktek konseling sebagai kelanjutan dari pelatihan konselor, aku melakukan interverensi kepada orang –orang yang merokok, menjadi hal yang sangat menantang, aku aku bertekad setelah melakukan konseling kepada orang-orang, aku ingin melakukan konseling kepada ayahku. Kutemui satu demi satu pasienku, salah satunya adalah seorang remaja pria  berumur 16 tahun, bertubuh kecil dan memiliki raut wajah yang tidak segar, setelah melalui beberapa pertanyaan, akhirnya aku bertanya sebab dia pernah berhenti merokok.
“Yang membuat saya berhenti merokok adalah ketika saya divonis oleh dokter kalau saya terkena penyakit TB (Tuberculosis), sampai saat ini saya masih mengidap penyakit tersebut”
Aku terkejut mendengarnya berkata demikian, berarti waktu saya konseling dengannya, dia dalam kondisi mengidap penyakit TB, tanpa menggunakan masker, padahal sudah diwajibkan kepada pihak klinik untuk menggunakan masker kepada orang-orang yang menderita penyakit TB. Waktu itu saya sangat pasrah kepada yang Allah SWT, jika saya tertular karena dia tidak memakai masker maka itu telah menjadi takdir saya, rasanya memang takut, tapi itu telah menjadi takdir yang tak bisa dipungkiri lagi. Lebih miris ketika aku tahu penyebab dia memiliki penyakit TB adalah karena rokok, aku menjadi sangat kesal dengan rokok. Ketika aku dirumah, aku mencoba untuk melakukan perbincangan dengan ayahku.
“Yah, tahu gak kalo rokok itu dapat menyebabkan banyak penyakit?”
“Iya paling cuma batuk, batuk gangguan pernapasan.”
”Bukan cuma itu ayah, rokok juga menyebabkan berbagai macam penyakit seperti TBC, stroke, kanker paru, dan masih banyak lagi” aku menjelaskan dengan memperlihatkan beberapa video tentang bahaya rokok.
“Coba deh yah bayangkan penyakit TB, penyakit itu sangat berbahaya dan dengan sangat mudah menular melalui udara, bayangin adek agung yah, dia masih berusia 4 tahun, masih sangat rentan, dan daya tahan tubuhnya masih lemah, padahal ayah sangat sering mengajak agung jalan-jalan, kemanapun ayah pergi agung selalu ikut, apa ayah nggak kasihan kalau ayah merokok di dekat agung? itu akan sangat membahayakan kesehatan mereka”
Aku melihat ayah terdiam tanpa kata, baru kali ini aku melihatnya seperti itu, aku merasa sedikit ada angin segar di dalam hatiku, merasa kalau mimpiku untuk membuat ayah berhenti merokok akan berhasil.
“Tapi susah nduk bagi ayah untuk berhenti, ayah sudah kecanduan sepertinya”
“Semua itu butuh proses yah, kalau tekad ayah untuk berhenti merokok lebih kuat daripada keinginan untuk tetap merokok, maka adek yakin, ayah akan bisa melakukannya, sebenarnya obat yang paling manjur untuk berhenti merokok adalah tekad dan niat yah, semua orang dirumah ini sangat mendukung ayah untuk berhenti, ibu, dan kakak sangat menginginkan ayah untuk berhenti, ayolah yah, akmi semua ingin ayah sehat tanpa merokok”
Aku semakin merasa senang karena sekarang ayah terlihat berpikir secara lebih keras, namun juga masih berharap dengan cemas menunggu kata selanjutnya yang akan diucapkan ayah.
“Ada tiga metode untuk berhenti yah, yaitu menunda, mengurangi, dan berhenti. ayah bisa pilih salah satu metode di atas.
“Oke, ayah ingin mencoba, namun menggunakan metode mengurangi lebih dulu”
“Alhamdulillah, Allahu Akbar, aku langsung mencium kedua tangan ayah, dengan perasaan sangat bahagia aku sampaikan kabar tersebut kepada ibu dan kakakku, sujud syukur mereka lakukan ketika mendengar kabar itu. 

Jumat, 17 Desember 2010

KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)

PENGERTIAN

          Suatu wabah dapat terbatas pada lingkup kecil tertentu (disebut outbreak, yaitu serangan penyakit) lingkup yang lebih luas (epidemi) atau bahkan lingkup global (pandemi). Kejadian atau peristiwa dalam masyarakat atau wilayah dari suatu kasus penyakit tertentu yang secara nyata melebihi dari jumlah yang diperkirakan. Berikut ini merupakan beberapa pengertian wabah:
  1. Dalam PP No 41 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
  2. Dalam UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Wabah penyakit menular yang selanjutnya disebut wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
  3. Menurut Last (2001), Outbreak adalah peningkatan insidensi kasus yang melebihi ekspektasi normal secara mendadak pada suatu komunitas, di suatu tempat terbatas, misalnya desa, kecamatan, kota, atau institusi yang tertutup (misalnya sekolah, tempat kerja, atau pesantren) pada suatu periode waktu tertentu. Hakikatnya outbreak sama dengan epidemi (wabah). Hanya saja terma kata outbreak biasanya digunakan untuk suatu keadaan epidemik yang terjadi pada populasi dan area geografis yang relatif terbatas.

KRITERIA YANG MENYEBABKAN SUATU PENYAKIT DIKATAKAN KLB/WABAH

Kriteria tentang KLB mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/9. Suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur:
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis  
    penyakitnya (jam, hari, minggu)
3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya 
    (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan 
    dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
Berikut ini disebutkan beberapa kriteria tentang KLB dari sumber lain :
1. Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih dibandingkan 
    dengan angka rata-rata per bulan dari tahun sebelumnya.
2. Case Fatality Rate (CFR) dari suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 
    50% atau lebih dibanding dengan CFR dari periode sebelumnya.
3. Propotional rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih 
    dibanding periode yang sama dan kurun waktu atau tahun sebelumnya.
Penyakit-Penyakit Berpotensi Wabah/KLB :
1. Penyakit karantina/penyakit wabah penting: Kholera, Pes, Yellow Fever.
2. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/mempunyai mortalitas tinggi & penyakit 
    yang masuk program eradikasi/eliminasi dan memerlukan tindakan segera : DHF,Campak,Rabies, Tetanus 
    neonatorum, Diare, Pertusis, Poliomyelitis.
3. Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting : Malaria, Frambosia, Influenza, 
    Anthrax, Hepatitis, Typhus abdominalis, Meningitis, Keracunan, Encephalitis, Tetanus.
4. Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi wabah dan atau KLB, tetapi masuk program : 
    Kecacingan, Kusta, Tuberkulosa, Syphilis, Gonorrhoe, Filariasis, dll

HERD IMMUNITY
Kekebalan Herd (atau kekebalan masyarakat) menjelaskan bentuk kekebalan yang terjadi ketika vaksinasi sebagian besar populasi (atau kelompok) memberikan ukuran perlindungan bagi individu yang belum mengembangkan kekebalan. teori imunitas Herd menyatakan bahwa, pada penyakit menular yang ditularkan dari individu ke individu, rantai infeksi mungkin akan terganggu ketika sejumlah besar populasi kebal terhadap penyakit. Semakin besar proporsi individu yang kebal, semakin kecil kemungkinan bahwa individu rentan akan datang ke dalam kontak dengan individu menular.
Berikut ini dijelaskan pengertian Herd immunity, yaitu merupakan tingkat kemampuan atau daya tahan suatu kelompok penduduk tertentu terhadap serangan atau penyebaran unsur penyebab penyakit menular tertentu berdasarkan tingkat kekebalan sejumlah tertentu anggota kelompok tersebut.
Herd Immunity merupakan faktor utama dalam proses kejadian wabah di
masyarakat serta kelangsungan penyakit pada suatu kelompok penduduk tertentu.
Estimasi Herd Imunitas ambang untuk penyakit yang dapat dicegah vaksin. Transmisi Penyakit ambang kekebalan R0 Herd:
Difteri Air liur 6-7 85%
Campak Airborne 12-18 83-94%
Gondong Airborne droplet 4-7 75-86%
Pertusis Airborne droplet 12-17 92-94%
Polio tinja-oral route 5-7 80-86%
Rubella Airborne droplet 5-7 80 - 85%
Cacar Sosial menghubungi 6-7 83-85%
R0 adalah bilangan reproduksi dasar, atau rata-rata jumlah kasus infeksi sekunder yang dihasilkan oleh kasus indeks tunggal dalam populasi benar-benar rentan.
       Vaksinasi bertindak sebagai semacam firebreak atau firewall dalam penyebaran penyakit ini, memperlambat atau mencegah penularan lebih lanjut dari penyakit ini kepada orang lain. individu tidak divaksinasi secara tidak langsung dilindungi oleh individu divaksinasi, karena yang terakhir tidak akan kontrak dan menularkan penyakit antara individu yang terinfeksi dan rentan. Oleh karena itu, kebijakan kesehatan masyarakat imunitas kawanan dapat digunakan untuk mengurangi penyebaran penyakit dan menyediakan tingkat perlindungan ke subkelompok, rentan tidak divaksinasi. Karena hanya sebagian kecil dari populasi (atau kelompok) dapat dibiarkan tidak divaksinasi untuk metode ini menjadi efektif, dianggap terbaik tersisa untuk mereka yang tidak dapat dengan aman menerima vaksin karena kondisi medis seperti gangguan kekebalan atau untuk penerima transplantasi organ.
        Kekebalan Herd hanya berlaku untuk penyakit yang menular. Ini tidak berlaku untuk penyakit seperti tetanus (yang menular, tetapi tidak menular), dimana vaksin hanya melindungi orang yang divaksinasi dari penyakit. Herd kekebalan seharusnya tidak dibingungkan dengan kekebalan kontak, sebuah konsep terkait dimana individu yang divaksinasi dapat 'menularkan' vaksin ke seseorang lainnya melalui kontak.

LANGKAH – LANGKAH YANG DILAKUKAN UNTUK MENCEGAH WABAH

Penanggulangan KLB dikenal dengan nama Sistem Kewaspadaan Dini (SKD-KLB), yang dapat diartikan sebagai suatu upaya pencegahan dan penanggulangan KLB secara dini dengan melakukan kegiatan untuk mengantisipasi KLB. Kegiatan yang dilakukan berupa pengamatan yang sistematis dan terus-menerus yang mendukung sikap tanggap/waspada yang cepat dan tepat terhadap adanya suatu perubahan status kesehatan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan adalah pengumpulan data kasus baru dari penyakit-penyakit yang berpotensi terjadi KLB secara mingguan sebagai upaya SKD-KLB. Data-data yang telah terkumpul dilakukan pengolahan dan analisis data untuk penyusunan rumusan kegiatan perbaikan oleh tim epidemiologi.
Penanggulangan KLB :
1. SKD KLB
2. Penyelidikan dan penanggulangan KLB
3. Pengembangan sistem surveilans termasuk pengembangan jaringan informasi Koordinasi kegiatan surveilans : lintas program dan lintas sektoral
Pelacakan KLB
1. Garis Besar Pelacakan KLB
- Pengumpulan data dan informasi secara seksama langsung di lapangan tempat kejadian
- Analisa data yang diteliti dengan ketajaman pemikiran.
- Adanya suatu garis besar tentang sistematika langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dan dikembangkan dalam setiap usaha pelacakan.
2. Analisis Situasi Awal
- Penentuan atau penegakan diagnosis
- Penentuan adanya wabah
- Uraian keadaan wabah (waktu, tempat dan orang)
3. Analisis Lanjutan
- Usaha Penemua kasus tambahan
 Adakan pelacakan ke rumah sakit dan dokter praktek ntuk menemukan kemungkinan adanya kasus diteliti yang belum ada dalam laporan.
 Pelacakan intensif terhadap mereka yang tanpa gejala, gejala ringan tetapi mempunyai potensi menderita atau kontak dengan penderita.
- Analisa Data secara berkesinambungan.
- Menegakkan Hipotesis
- Tindakan Pemadaman wabah dan tindak lanjut.
 Tindakan diambil sesuai dengan hasil analisis
 Diadakan follow up sampai keadaan normal kembali.
 Yang menimbulkan potensi timbulnya wabah kembali disusunkan suatu format pengamatan yang berkesinambungan dalam bentuk survailans epidemiologi terutama high risk.
Referensi:
Bustan, M.N. 2006. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta
www.enotes.com/public-health-encyclopedia/epidemic-theory-herd-immunity
medical-dictionary.thefreedictionary.com/herd+immunity
Murti, Bhisma. Investigasi Outbreak. Available
fk.uns.ac.id/index.php/download/file/16

oleh :
Rini Anik N.R
Mahasiswa FKM Undip

Sabtu, 13 November 2010

Tugas Penyelidikan Epidemiologi

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI

1.      CAMPAK

A.    DEFINISI CAMPAK
penyakit campak adalah penyakit menular dengan gejala demam > 38 , kemerahan (bercak merah berbentuk makulopapular) selama 3 hari atau lebih, di mana setelah 1 minggu sampai 1 bulan berubah menjadi hitam (hiperpigmentasi) dan kulit menjadi bersisik jiga disertai batuk pilek dan atau mata merah.(Sub direktorat Surveilans Epidemiologi. Petunjuk Teknis Surveilans Campak. Jakarta : Direktorat Jenderal PP dan PL Departeman Kesehatan RI; 2008)
Campak merupakan penyakit akut yang disebabkan Paramyxovirus, jenis Morbilivirus. Virus campak biasanya berkembang di dalam sel-sel yang terdapat di belakang tenggorokan danpada sel-sel yang berada di paru-paru. Sumber penularannya adalah manusia sebagai penderita dan tidak menular melalui binatang.
Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus campak yang ditularkan melalui udara pernapasan. Virus ini merupakan virus RNA untai tunggal negative tidak bersegmen yang mempunyai selubung. Bentuk virus pleomorfik dan umumnya berbentuk sferik dengan  ukuran diameter 120-125 nm. Virus campak dapat bertahan selama beberapa hari pada temperature 0 C dan selama 15 minggu pada sediaan beku. Di luar tubuh manusia virus ini mudah mati. Pada suhu kamar sekalipun, virus ini akan kehilanagn infektivitasnya sekitar 60 % selama 3-5 hari.
B.     GEJALA CAMPAK
Campak diawali dengan demam, keluar cairan dari hidung, batuk, sariawan, dan mata merah serta sakit. Pada hari ketiga demam akan menjadi semakin tinggi, kemudian pada hari keempat mulai timbul ruam dan setelah itu anak akan membaik beberapa hari kemudian. Ruam pada campak yang timbuyl di pipi disebut bercak koplik, bercak ini tampak seperti setitik garam di atas selaput lender pipi yang berwarna merah.
Secara singkat penyakit campak dibagi dalam tiga stadium:
1.         Stadium kataral (prodromal)
biasanya stadium ini berlangsung selama 4-5 hari disertai panas, malaise, batuk, fotofobia, konjunctivis, dan koriza. Menjelang stadium kataral dan 24 jam sebelum exantema, timbul bercak koplik yang patognomik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema.
2.         Stadium Erupsi
Pada fase ini suhu badan meningkat disertai timbul exantema atau titik merah di palatum durum dan palatum mole. Kadang-kadang terlihat pula bercak koplik.
3.         Stadium konvalensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua yang lama kelamaan akan hilang sendiri.
C.     FAKTOR RISIKO CAMPAK
       Menurut para ahli ada beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian sakit campak, yaitu:                
a.        Umur
b.      Jenis Kelamin
c.       Status gizi
d.      Status vitamin A
e.       Status vaksinasi campak
f.       Faktor lingkungan dan perilaku
g.      Tingkat pengetahuan dan social ekonomi

D.    TAHAPAN PEMBERANTASAN CAMPAK
1)   Tahap Reduksi
adalah menurunkan angka kematian campak sebesar 90 % pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2000 dengan strategi sebagai berikut:
a)   Meningkatkan cakupan imunisasi rutin minimal 90 % di desa dengan indicator cakupan campak, DPD3, dan polio 4
b)   95 % desa mencapai UCI (Universal Child Immunization)
c)   Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD
d)  Tatakala kasus dengan pemberian vitamin A dengan pengobatan adekuat terhadap komplikasi.
e)   Rujukan kasus serta indikasi.
2)   Tahap Eliminasi
a)   Mencapai cakupan imunisasi rutin
b)   Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD
c)   Melaksanakan surveilans berbasis kasus individu dengan melakukan konfirmasi laboratorium.
3)   Tahap Eradikasi
a)   Mencapai cakupan imunisasi rutin 95 % di setiap desa
b)   Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD dengan cakupan 100 %
c)   Imunisasi campak tambahan
d)  Melaksanakan surveilans ketat berbasis kasus individu dengan konfirmasi laboratorium.

WHO mencanangkan beberapa tahapan dalam upaya pemherantasan campak, dengan tekanan strategi yang berbeda-beda pada setiap tahap yaitu :
1.      Tahap Reduksi
Tahap ini dibagi dalam 2 tahap :
a.       Tahap pengendalian campak
Pada tahap ini ditandai dengan upaya peningkatan cakupan imunisasi campak rutin dan upaya imunisasi tambahan di daerah dengan morbiditas campak yang tinggi. Daerah-daerah ini masih merupakan daerah endemis campak, tetapi telah terjadi penurunan insiden dan kematian, dengan pola epidemiologi kasus campak menunjukkan 2 puncak setiap tahun.
b.      Tahap Pencegahan KLB
Cakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi > 80% dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian, insiden campak telah bergeser kepada umur yang lebih tua, dengan interval KLB antara 4-8 tahun.
2.      Tahap Eliminasi
Cakupan imunisasi sangat tinggi > 95% dan daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya. Kasus campak sudah jarang dan KLB hampir tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai rentan (tidak terlindung) harus diselidiki dan diberikan imuniasi campak.


3.      Tahap Eradikasi.
Cakupan imunisasi sangat tinggi dan merata, serta kasus campak sudah tidak ditemukan. Transmisi virus campak sudah dapat diputuskan, dan negara-negara di dunia sudah memasuki tahap eliminasi.
                                                                                                     
2.      ANGKA KEMATIAN BAYI
A.    DEFINISI
AKB merupakan salah satu indikator derajat kesehatan yang komprehensif. Angka ini tidak saja menunjukkan tentang kesehatan bayi itu sendiri, tetapi tinggi-rendahnya angka ini juga berarti baik buruknya kondisi lainnya yang berkaitan dengan faktor penyebab kematian bayi tadi. Kematian yang dimaksud pada umumnya berkaitan dengan atau mempunyai latar belakang yang luas antara lain:
a)      kematian pada umur dini (perinatal yaitu kematian janin sejak kehamilan sama dengan atau di atas 22 minggu sampai dengan bayi berumur 1 minggu dan kematian neonatal yaitu kematian bayi berumur kurang dari 1 bulan). Pada umumnya karena perawatan ante-natal dan pertolongan persalinan yang kurang memadai.
b)      Kematian karena penyakit-penyakit infeksi yang sebenarnya sudah tersedia cara pencegahannya dalam program – program imunisasi (immunizedable infectious diseases).
c)      Kematian karena diare, dapat berakibat dehidrasi, yang sebenarnya dapat diatasi dengan tindakan penggantian cairan badan dengan cara-cara yang cukup sederhana (oralit atau latrutan gula garam)
d)     kematian dengan latar belakang status gizi bayi yang kurang baik. sehingga daya tahan tubuh bayi rendah dan rentan terhadap macam-macam penyakit menular.
e)      beberapa hal tersebut mungkin berlatar belakang adanya upaya pelayanan kesehatan dasar yang belum menjangkau keluargfa bayi yang bersangkutan.
Kematian bayi dapat dibagi dalam kelompok umur sebagai berikut :
1)      Kematian Perinatal, yaitu kematian janin pada kehamilan di atas 28 minggu di tambah dengan angka kematian bayi di bawah umur 1 minggu.
2)      Kematian Neonatal, yaitu kematian bayi di bawah umur 1 bulan. Angka kematian Neonatal adalah jumlah kematian neonatal dalam satu tahun kalender dibagi dengan jumlah lahir hidup dalam tahun kalender yang sama.
3)      Kematian Post-Neonatal, yaitu kematian bayi umur 1 bulan sampai umur 1 tahun.
B.     PENYEBAB KEMATIAN BAYI
Hampir semua penyakit infeksi sistematik yang berat dapat menyebabkan keguguran, lahir mati, atau lahir dengan berat badan yang kurang dari semestinya. Infeksi pada ibu hamil yang menimbulkan penyakit pada janin atau neonates adalah penyakit cacar air atau varicella, herpes, zoster, virus coxsackie-B, hepatitis, malaria, penyakit gondok, rubella, campak, cacar pada janin.
C.     PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI :
Lahir mati memiliki pengertian kematian janin di antara minggu ke 20 kehamilan (bulan ke 5) sampai dengan masa kelahiran. Bila hal ini menjadi suatu kasus di masyarakat, misal di suatu daerah F memiliki jumlah angka kematian bayi yang tinggi, sangat perlu penanggulangan yang tepat. Pertama, cari dulu informasi yang lengkap dan benar dari puskesmas, tempat praktek bidan, ataupun rumah sakit, dimana di sana terdapat catatan-catatan yang menginformasikan adanya kematian bayi dalam kurun waktu tertentu. 
Populasi yang dapat menjadi sasaran utama adalah para ibu. Jelas disini akan diperoleh data yang benar mengenai kasus tersebut, khususnya bila dihubungkan dengan kelahiran bayi. 
Tindak lanjut penyelidikan epidemiologi :

Dapat dilakukan suatu wawancara langsung atau pengisian kuesioner untuk para ibu yang pernah melahirkan (khususnya yang pernah mengalami kasus janinnya lahir mati). Hal ini dilakukan untuk melihat apa yang menjadi penyebab utama dari adanya kasus lahir mati janin tersebut.
Bagi para ibu yang akan melahirkan, diberikan penyuluhan kesehatan yang berkaitan dengan masa kehamilan, melahirkan, dan juga nifas. Untuk membekali mereka dengan informasi yang tepat agar mereka dapat menjaga kandungan mereka dengan baik dan anak yang lahir dapat sehat dan selamat.
Langkah-langkah pencegahan :
ü  Perbaikan keadaan sosial ekonomi
ü  Perbaikan kesehatan ibu dan pengawasan antenatal yang baik
ü  Perbaikan teknik diagnose gawat-janin
ü  Perbaikan resusitasi bayi yang lahir dengan asfiksia dan perbaikan dalam teknik perawatan bayi baru lahir/ bayi yang premature
ü  Kesadaran ibu akan kebutuhan gizi seimbang yang baik selama mengandung
3.      TUBERCULOSA
Tuberculosa merupakan penyakit infeksi berat yang paling sering di ketemukan di Indonesia. Hampir 75% penduduk dewasa pernah mengalami infeksi ini (hasil test Mantoux positif) dan 3-4% menunjukkan proses TBC aktif pada pemeriksaan dengan X-ray. 0,6 % dari seluruh penduduk dewasa (1 diantara 150 orang) menderita TBC dengan BTA positif dan merupakan sumber penularan melalui dahak mereka. Karena itu, meskipun pemerintah telah mengadakan program pengontrolan dengan pengobatan kasus-kasus yang ditemukan dan vaksinasi BCG.
Tuberculosis yang ditemukan di negara-negara berkembang sangat berbeda dengan tuberculosis yang ditemukan di negara-negara industri. Ini akibat perbedaan gizi, faktor genetis, umur saat terjadinya infeksi yang pertama kali, dan adanya infeksi-infeksi tambahan pada anak-anak di Negara sedang berkembang, serta perbedaan dalam jumlah baksil yang menyerang.
A.    PENGELOLAAN TUBERCULOSA SECARA NASIONAL
Tuberculosa adalah penyakit yang mempunyai pengaruh nasional, salah satu contoh pengelolaan tuberculosa yang sederhana dan efektif di Negara yang memiliki kemampuan terbatas telah di praktekkan di India dan Indonesia. Tindakan yang diambil adalah vaksinasi BCG dan perawatan penderita secara output patient dengan obat-obat anti TBC.
Vaksinasi BCG
Ada tiga fase program vaksinasi BCG yang telah dikerjakan oleh petugas-petugas kesehatan dalam usaha mereka untuk mencegah tuberculosa di desa-desa di India.
Fase Pertama
Penduduk dikumpulkan di balai desa dan diusahakan agar semua dapat dating, kemudian petugas melakukan tuberculin test pendahuluan (test Mantoux). Hasil cara ini mengecewakan, karena hanya 45 % dari seluruh penduduk dating, dan hanya 30 % kemablli pada kari ketiga untuk diperiksa lagi guna mendapatkan vaksinasi BCG jika hasil test negatif.
Fase kedua
Ini dilaksanakan karena cara pertama tidak mengenai sasaran. Vaksinasi dalam fase ini dikerjakan dengan mengadakan kunjungan ke rumah penduduk. Team vaksinasi mengunjungi tiap rumah dua kali, yang pertama untuk melakukan test tuberculin, dan yang kedua membaca hasil test tersebut serta memberikan vaksinasi BCG pada anggota keluarga yang hasil test tuberculinnya kurang dari 10 mm. Dengan cara ini ternyata hasil lebih memuaskan, karena 80 % penduduk telah di test tuberculin dan 70 % mendapat vaksinasi. Tetapi cara ini masih tetap kurang sempurna karena biayanya tinggi dan memakan waktu lama, sebab diperlukan dua kunjungan.
Fase ketiga
Dalam sepuluh terakhir ini semakin jelas tampak pada banyak Negara, bahwa test pendahuluan dengan tuberculin tidaklah perlu. Dengan demikian program vaksinasi BCG secara missal pada saat ini dilaksanakan secara langsung tanpa test pendahuluan dengan tuberculin, karena BCG yang diberikan kepada anak-anak dengan reaksi tuberculin positif terbukti tidak membahayakan. Dalam program fase ketiga, team vaksin hanya melakukan satu kali kunjungan rumah, dan semua penghuni rumah yang berumur 0 -19 tahun yang dinilai dapat divaksinasi pada saat itu juga diberi vaksinasi BCG tanpa tuberculin test. Dengan cara ini dicapai hasil 80 % dan biayanya juga lebih rendah. Sehingga dalam jangka waktu yang sama jumlah penduduk yang divaksinasi menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan cara fase kedua.
B.     PENGOBATAN TUBERCULOSA
Pada orang dewasa
Dalam suatu penyelidikan yang luas di Madras, India, ditunjukkan betapa penting pemberian obat-obat anti tuberculosa untuk pengobatan penyakit ini. Menurut hasil penyelidikan tersebut, kondisi penderita yang tinggal dirumah sakit khusus untuk tuberculosa tidaklah berbeda dengan kondisi penderita yang tetap bekerja, asalkan keduanya keduanya menerima obat-obat anti tuberculosa. Berlawanan dengan anggapan yang selama ini dianut secara luas, pemberian makanan yang lebih baik, istirahat yang lebih lama, serta keadaanlingkungan hidup yang lebih baik terbukti tidak mempengaruhi kecepatan penyembuhan penderita. Faktor-faktor diatas sama sekali tidak berpengaruh asalkan penderita memakan obat-obat anti TBC secara tepat.
Program pengobatan dirumah penderita merupakan cara yang lebih tepat, karena tidak mengganggu keutuhan keluarga.Kekhawatiran yang timbul karena kemungkinan menularnya penyakit ini kepada lingkungan sekitar sebenarnya terlalu di besar-besarkan. Sesudah beberapa minggu, jumlah baksil yang keluar bersama dahak menjadi sedikit sekali sehingga tidak berbahaya. Oleh suatu penelitian dilaporkan bahwa orang-orang disekitar penderita yang dikhawatirkan terkena penyakit ini- sebenarnya sudah mengalami infeksi tuberculosa sebelum penderita mendapatkan pengobatan. Sehingga kontak langsung orang-orang itu dengan penderita tidak akan menambah angka penularan seunder. Orang-orang yang berada di sekiktar penderita juga harus mendapatkan INH perhari selama setahun. Meskipun begitu banyak dokter-dokter yang belum bersedia menerima hasil penyelidikan tersebut, danmasih menggunakan cara-cara tradisional dalam mengobati tuberculosa.
Pada anak-anak
Obat-obat anti mikroba memang paling penting, akan tetapi masalah gizi masih tetap merupakan faktor utama untuk memperbaiki keadaan umum penderita. Gizi yang rendah dan infeksi-infeksi tambahan lain yang ada, menyebabkan tuberculosa pada anak-anak di Negara-negara sedang berkembang jauh lebih berbahaya. Contoh dari hal ini terlihat di Durban, Afrika Selatan dimana epidemic morbili telah menyebabkan angka kematian sebesar 30 % diantara anak-anak dengan tuberculosa.

4.      MALARIA
Penyelidikan Epidemiologi (PE) Malaria, langkah awal yang perlu dilakukan adalah pencarian penderita / tersangka malaria lainnya yang ada dalam wilayah tersebut. Apakah dalam wilayah tersebut terdapat penderita Malaria lain atau hanya terdapat satu orang yang positif laboratorium terkena malaria. Kemudian dilakukan pemeriksaaan jentik dirumah penderita / tersangka maupun di sekitar rumah penderita, dalam jarak sekurang-kurangnya 100 meter (dirumah penderita dan 20 rumah sekitarnya) serta tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan, dalam melakukan pemeriksaan jentik, diperlukan informasi yang cukup tentang karakteristik nyamuk anopheles sebagai vektor malaria. Melihat kondisi dan karakteristik anopheles, maka dilakukan survey di tempat-tempat bertelur (breading place) dan tempat peristirahatan nyamuk tersebut. Seperti saluran pembuangan air, yang disana terdapat air kotor.

Tindak Lanjut
1.   Jika hanya ditemukan satu penderita dan ternyata disana tidak terdapat vektor, maka tidak terdapat populasi beresiko dalam daerah tersebut, hanya dilakukan sosialisasi tentang program pencegahan penyakit malaria
2.   Jika dalam komunitas tersebut terdapat satu penderita, namun terdapat adanya keberadaan vektor, maka perlu dilakukan pemberantasan vektor dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar bahaya malaria, dan cara menularnya, sehingga masyarakat tahu bagaimana cara menghindari perilaku-perilaku yang beresiko.
3.   jika di dalam daaerah tersebut ternyata di ketahui terdapat banyak orang yang terkena malaria, dan terdapat vektor malaria, maka perlu diadakan pemberantasan yang lebih menyeluruh agar penyebarannya tidak meluas.

5.      KEMATIAN IBU
Kematian ibu yaitu kematian seorang wanita yang terjadi selama masa kehamilan sampai dengan 42 hari setelah berakhirnya kehamilan tanpa memperhatikan lama dan tempat terjadinya kehamilan yang disebabkan oleh kehamilannya atau penanganan kehamilannya, tetapi bukan karena kecelakaan. Kematian ibu juga merupakan kematian seorang wanita waktu hamil atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan dilakukan untuk mengakhiri kehamilan. Angka Kematian Ibu, salah satu indikator pembangunan kesehatan dasar, masih memprihatinkan. Kematian perempuan usia subur disebabkan masalah terkait kehamilan, persalinan, dan nifas akibat perdarahan.
Kematian ibu dapat disebabkan oleh penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung antara lain diakibatkan oleh komplikasi obstetric sebesar 90 %. Penyebab langsung meliputi:
c.       Perdarahan
Penyebab perdarahan yang penting adalah perdarahan ante partum yaitu perdarahan pada triwulan terakhir dan perdarahan post partum yaitu melebihi 500 cc dalam 24 jam setelah anak lahir.
d.      Infeksi
Dokter atau bidan sering kali meruoakan pembawa infeksi pada wanita yang sedang bersalin. Sebab utama penyakit tersebut adalah berbagai jenis streptococcus yang dibawa oleh mereka.
e.       Eklampsi
Penyakit akut dengan kejang atau koma pada wanita hamil dan wanita dalam nifas yang disertai dengan hipertensi, edema, dan proteinuria.
Di samping penyebab langsung ada juga penyebab tidak langsung kematian ibu, antara lain pendidikan ibu yang masih rendah, sosial ekonomi dan sosial budaya Indonesia yang emngutamakan bapak dibanding ibu (misal : bapak didahulukan untuk mendapat makanan bergizi sehingga angka anemia pada ibu hamil cukup tinggi, mencapai 40%), tiga keterlambatan (terlambat mengenali tanda bahaya dan mengambil keputusan, terlambat sampai di fasilitas kesehatan, dan terlambat emndapat pelayanan yang optimal) dan keadaan 4T ( usia terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan terlalu banyak anak). Selain penyebab langsung dan tidak langsung, ada juga faktor non teknis yang masuk kategori penyebab mendasar, yaitu rendahnya status wanita, ketidakberdayaannya, dan taraf pendidikan. Faktor resiko kehamilan adalah faktor yang secara tidak langsung dapat membahayakan ibu hamil dan bersalin sehingga memerlukan pengawasan serta perawatan professional
·         Umur : terlalu muda atau terlalu tua
·         Paritas : jumlah persalinan yang pernah dialami ibu
·         Jarak kehamilan : untuk mempersiapkan pemulihan kondisi ibu yang baru melahirkan
·         Status gizi : ibu yang gizinya kurang, kondisinya akan rentan dengan penyakit. Wanita usia subur yang menderita KEK (Kurang energy kronis) memiliki resiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
·         Anemia : kurangnya kadar hemoglobin wanita hamil, makin tinggi resiko untuk terjadi perdarahan saat melahirkan.
Penyebab kematian ibu yang disebabkan oleh keadaan gizi sejak sebelum hamil, kehamilan yang terlalu dekat, terjadi pada usia terlalu muda atau terlalu tua juga dapat menimbulkan risiko timbulnya gangguan. Perdarahan dapat terkait produksi cairan ketuban atau ketuban pecah terlalu dini (sebelum proses persalinan). Adapun perdarahan pascapersalinan, antara lain, karena gangguan pada rahim, pelepasan plasenta, robekan jalan lahir, dan gangguan faktor pembekuan darah. Risiko akan meningkat, antara lain, pada ibu hamil yang menderita anemia dan rahim teregang terlalu besar karena bayi besar.
Salah satu faktor yang memengaruhi kematian ibu ataupun bayi ialah kemampuan dan keterampilan penolong persalinan. Faktor lain adalah kurangnya pengetahuan dan perilaku masyarakat yang tidak mengenali tanda bahaya sehingga terlambat membawa ibu, bayi, dan anak balita ke fasilitas kesehatan.
Menurunkan angka kematian ibu merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan nasional. Berdasarkan Survei Demografi dan Kependudukan (2002-2003), terjadi penurunan Angka Kematian Ibu dari 334 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2003. Namun, bila dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, angka tersebut masih cukup tinggi. Target yang ingin dicapai tahun 2015 adalah sekitar 125 per 100.000 kelahiran hidup.
Dalam menurunkan angka kematian ibu tindakan-tindakan yang dapat dilakukan yaitu melakukan program Keluarga Bencana. Jika para ibu yang tidak ingin hamil lagi dalat memperoleh pelayanan kontrasepsi efektif sebagaimana diharapkan, maka akan berkuranglah prevalesi wanita hamil pada usia lanjut dan paritas tinggi. Dengan berkurangnya factor risiko tinggi ini maka kematian maternal akan turun pula. Oleh karena itu pelayanan keluarga berencana harus dapat mencapai sasaran seluas-luasnya. Menunda masa kehamilan bagi ibu dengan umur <20 tahun dan dianjurkan untuk menggunakan alat kontrasespsi, sedangkan pencegahan ibu hamil >35 tahun dapat dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi mantap. Pemeriksaan kehamilan juga merupakan hal yang penting untuk mewaspadai apabila terjadi kelainan-kelainan yang dapat timbul pada masa kehamilan. Pada triwulan I minimal 1 x pemeriksaan, triwulan II minimal 1x, sedangkan pada triwulan II minimal 2x. Selain itu juga dapat dilakukan:
Ø  Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
Ø  Penyediaan pelayanan kegawatdaruratan yang berkualitas dan sesuai standar
Ø  Mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran
Ø  Kerjasama lintas program dan lintas sector ( IDI, POGI, IDAI, PMI, dsb.)
Ø  Peningkatan partisipasi wanita, keluarga, dan masyarakat



Webber R. Communicable Disease Epidemiology and Control. Cambridge : University Press; 1996
B.Budioro, Pengantar Epidemiologi. badan Penerbit Universitas Diponegoro . Semarang. 1997



Rini Anik N.R
E2A009111