Theng...theng...theng...jam dinding kamarku berdentang 5 kali, suasana pagi telah kembali lagi, aku merasakan pagi ini dengan penuh semangat, udara pagi yang begitu segar,membuatku semakin merasa bersyukur kepada-Nya, karena pagi ini aku masih bisa membuka mata setelah semalaman terlelap, masih dalam kondisi yang sehat dan masih dalam lindungan-Nya.
“Hari ini hari libur ya kak?” aku kaget ketika ada suara yang muncul di belakangku, di saat aku sedang merenungi kehidupan ini di balik jendela kamar.
“Eh, ada adek, iya sayang….hari ini kakak libur ,”
“Asyiiiik…..kalau gitu bisa jalan-jalan ni kak!”
“iya sayang, sini kakak pangku, kakak pengen cerita sesuatu”
Aku merasa sangat beruntung di dunia ini, karena telah diberi keluarga yang sangat baik, sangat harmonis, kehangatan keluarga sangat terasa didalamnya. Aku miris mendengar teman-teman yang memiliki keluarga yang tidak harmonis, kedua orang tua yang tega saling bertengkar di depan anak-anak karena hal-hal yang sepele, dan masih banyak lagi.
Kesibukanku menjadi mahasiswa di salah satu universitas negeri di Indonesia tak membuat komunikasiku dengan keluarga tersendat-sendat, karena hampir setiap hari aku memberi kabar kepada ibu atau ayahku, namun jarak yang memisahkan kami kadang sangat menyiksaku. Tersiksa karena kini tak bisa selalu ada disamping mereka, tak bisa selalu menjaga mereka, namun inilah tantangan hidupku, aku harus berani mengambil resiko di setiap aku memilih jalan hidupku. Harus ada yang dikorbankan ketika kita harus memilih salah satu pilihan.
“Alya…….!” panggil ibuku dari dapur. Dengan tergopoh-gopoh aku menghampiri ibuku.
“Sini nduk, bantuin ibu masak”. Nduk adalah panggilan kesayanganku, sama artinya dengan nak. Sudah menjadi rutinitas biasa kalau aku sedang ada di rumah, tempat yang paling aku senangi adalah di dapur, karena disitu adalah tempat sumber makanan berada, tak heran jika badanku besar, karena memang aku suka makan.
“Uhuk…Uhuk….” terdengar suara batuk ayah yang sangat keras, sudah lama ayah batuk yang tidak kunjung sembuh, karena ayah susah diajak untuk berobat, alasannya selalu sama.
“Ayah tidak ingin tahu penyakit ayah, biar ayah tetap merasa tenang menjalani hidup ini, agar pikiran ayah tidak di bebani dengan pantangan-pantangan dari dokter”
Terhenyak hatiku mendengar kata-kata ayah yang selalu melontarkan jawaban yang sama kepadaku ketika aku minta beliau untuk ceck kesehatan di dokter. Seperti pepatah maksud hati memeluk gunung namun apa daya tangan tak sampai.
“Adek…..ayo kita jalan-jalan, mumpung kakak dirumah ni…..adek pengen kemana?”
“Terserah deh kak, yang penting jalan-jalan……asyiiiik, aku seneng deh kakak dirumah, jadi tambah banyak yang ngajakin jalan-jalan.”
“Yaudah, kita ke taman aja, adek kan suka bermain disana tuh”
Adekku ini baru berumur 4 tahun, sebenarnya dia adalah putra kakakku, namun sangat suka memanggilku kakak, dia sangat suka jalan-jalan dan melakukan hal-hal lucu yang membuat orang-orang disekelilingnya merasa geli, mungkin yang baru mengenalnya merasa heran, karena ada saja hal-hal yang ia lakukan, aku tiga bersaudara, dengan kakak pertamaku 34 tahun, kakak keduaku (25 tahun) dan aku sendiri 19 tahun. Orang tuaku memiliki 2 anak angkat, jadi jarang ada suasana sepi di dalam rumahku, yang ada hanya canda tawa, namun kadang ada juga keadaan sepi, jika semua orang pergi dengan kesibukan masing-masing.
Hari berlalu dengan rutinitas seperti biasa, aku pulang seminggu sekali ketika tidak ada kegiatan di kampus. Kesempatan untuk pulang ini kugunakan baik-baik, tak semenitpun aku menyia-nyiakan waktu untuk berkumpul dengan keluargaku tercinta.
“Uhuk…Uhuk…Uhuk” Suara ayah sudah terdengar dari luar rumah. Aku berusaha untuk mendekati ayah, namun terasa sulit, karena masih sangat akrap dengan prinsip yang teguh untuk tidak periksa dengan dokter. Namun semangatku tak pantang menyerah, aku terus berusaha untuk membujuk ayah, namun gagal lagi.
Pada suatu kesempatan, aku diminta untuk mengikuti pelatihan konselor advokasi berhenti merokok, dengan semangat yang membara aku mengikutinya, dalam pelatihan itu aku diberi bekal tentang rokok, bahaya-bahaya rokok, kandungan-kandungan kimia yang ada di rokok itu sendiri undang-undang tentang rokok, dan masih banyak lagi. Aku semakin miris melihat ayahku yang perokok, beliau memang seorang perokok aktif dan hampir satu slop setiap harinya, kalau dibayangkan betapa ngeri kondisi organ-organ di dalam tubuhnya, yang telah di gerogoti banyak penyakit, paru-paru yang kini tak lagi seperti dulu, batuk-batuk yang tak kunjung sembuh, kondisi tubuh yang lemah, mudah terserang flu dan penyakit akibat kelelahan lainnya, aku memandang ayahku sebagai sosok yang sangat aku tauladani, beliau sangat bijaksana, sangat baik, tegas, humoris, jarang marah, sangat menjunjung tinggi ajaran agama kami.
Suatu sore aku mencoba untuk berdiskusi dengan ayahku.
“Yah, rokoknya sehari habis berapa batang?”
“Ya mungkin satu bungkus lebih”
“Pernah gak sih terpikir ingin berhenti merokok?”
“Pernah sih pernah nduk namun masih belum kepingin?”
“Ya memang semua itu butuh proses yang sangat panjang, yang penting ayah udah kepikiran untuk berhenti, meski belum bisa”
Hari demi hari masih saja ayah tak mengurangi jumlah rokok yang dihisap setiap harinya, malah kulihat semakin sering dan bertambah banyak. Tak kulihat perkembangan yang lebih baik. Dalam suatu kesempatan aku melakukan praktek konseling sebagai kelanjutan dari pelatihan konselor, aku melakukan interverensi kepada orang –orang yang merokok, menjadi hal yang sangat menantang, aku aku bertekad setelah melakukan konseling kepada orang-orang, aku ingin melakukan konseling kepada ayahku. Kutemui satu demi satu pasienku, salah satunya adalah seorang remaja pria berumur 16 tahun, bertubuh kecil dan memiliki raut wajah yang tidak segar, setelah melalui beberapa pertanyaan, akhirnya aku bertanya sebab dia pernah berhenti merokok.
“Yang membuat saya berhenti merokok adalah ketika saya divonis oleh dokter kalau saya terkena penyakit TB (Tuberculosis), sampai saat ini saya masih mengidap penyakit tersebut”
Aku terkejut mendengarnya berkata demikian, berarti waktu saya konseling dengannya, dia dalam kondisi mengidap penyakit TB, tanpa menggunakan masker, padahal sudah diwajibkan kepada pihak klinik untuk menggunakan masker kepada orang-orang yang menderita penyakit TB. Waktu itu saya sangat pasrah kepada yang Allah SWT, jika saya tertular karena dia tidak memakai masker maka itu telah menjadi takdir saya, rasanya memang takut, tapi itu telah menjadi takdir yang tak bisa dipungkiri lagi. Lebih miris ketika aku tahu penyebab dia memiliki penyakit TB adalah karena rokok, aku menjadi sangat kesal dengan rokok. Ketika aku dirumah, aku mencoba untuk melakukan perbincangan dengan ayahku.
“Yah, tahu gak kalo rokok itu dapat menyebabkan banyak penyakit?”
“Iya paling cuma batuk, batuk gangguan pernapasan.”
”Bukan cuma itu ayah, rokok juga menyebabkan berbagai macam penyakit seperti TBC, stroke, kanker paru, dan masih banyak lagi” aku menjelaskan dengan memperlihatkan beberapa video tentang bahaya rokok.
“Coba deh yah bayangkan penyakit TB, penyakit itu sangat berbahaya dan dengan sangat mudah menular melalui udara, bayangin adek agung yah, dia masih berusia 4 tahun, masih sangat rentan, dan daya tahan tubuhnya masih lemah, padahal ayah sangat sering mengajak agung jalan-jalan, kemanapun ayah pergi agung selalu ikut, apa ayah nggak kasihan kalau ayah merokok di dekat agung? itu akan sangat membahayakan kesehatan mereka”
Aku melihat ayah terdiam tanpa kata, baru kali ini aku melihatnya seperti itu, aku merasa sedikit ada angin segar di dalam hatiku, merasa kalau mimpiku untuk membuat ayah berhenti merokok akan berhasil.
“Tapi susah nduk bagi ayah untuk berhenti, ayah sudah kecanduan sepertinya”
“Semua itu butuh proses yah, kalau tekad ayah untuk berhenti merokok lebih kuat daripada keinginan untuk tetap merokok, maka adek yakin, ayah akan bisa melakukannya, sebenarnya obat yang paling manjur untuk berhenti merokok adalah tekad dan niat yah, semua orang dirumah ini sangat mendukung ayah untuk berhenti, ibu, dan kakak sangat menginginkan ayah untuk berhenti, ayolah yah, akmi semua ingin ayah sehat tanpa merokok”
Aku semakin merasa senang karena sekarang ayah terlihat berpikir secara lebih keras, namun juga masih berharap dengan cemas menunggu kata selanjutnya yang akan diucapkan ayah.
“Ada tiga metode untuk berhenti yah, yaitu menunda, mengurangi, dan berhenti. ayah bisa pilih salah satu metode di atas.
“Oke, ayah ingin mencoba, namun menggunakan metode mengurangi lebih dulu”
“Alhamdulillah, Allahu Akbar, aku langsung mencium kedua tangan ayah, dengan perasaan sangat bahagia aku sampaikan kabar tersebut kepada ibu dan kakakku, sujud syukur mereka lakukan ketika mendengar kabar itu.